Menulis: Berdialog dengan diri
Ternyata sudah hampir penghujung tahun. Lama juga ya aku tak menulis di sini. Sebenarnya bukan sama sekali tak menulis, aku masih sesekali menulis, karena aku tipikal orang yang perlu wadah untuk bercerita, mungkin setiap hari. Padahal tidak setiap hari orang mau mendengarkan aku bercerita yang mungkin itu-itu saja. Jadi, biasanya juga menulis di sarana lain, di buku, maupun di sosmedku yang lain. Diprivate saja ataupun dipublish. Sesuka hati. Setelah menulis aku merasa lega. Alhamdulillah.
Seperti yang kurasakan malam ini, ketika hendak memejamkan mata untuk tidur, beberapa bayangan berkelebat. Tidak bisa melanjutkan tidur. Kuputuskan untuk keluar kamar. Bercita-cita untuk menulis malam ini. Menulis apa? Belum tahu. Menulis saja pokoknya.
Menulis dapat melembutkan hati, menajamkan pikiran dan menenangkan mood seharian, at least itu yang berlaku untukku. Di masa depan mungkin saja aku akan tersenyum atau tertawa ketika membaca tulisanku hari ini. Tapi yakin aku akan bangga dengan diriku saat ini, bisa melewati waktu dengan melakukan hal yang aku suka. Menulis.
Aku bisa melewatkan malam hingga dini hari sendirian, ketika aku sedang ingin bercerita dan tak ada yang mendengarkan. Awalnya tentu saja aku berencana untuk bangun dan menulis, tapi tak afdhol menulis dengan perut kelaparan. Biasanya aku akan menikmati mi instan atau ote ote petis yang ku usahakan sejak siang tadi. Sambil mengunyah dan menikmati makanan, otakku terus bergerak seperti membacakan sesuatu. Aku tersenyum, menikmati dialog dengan diriku sendiri. Terkagum, bagaimana bisa otak ini seperti begitu lancar menceritakan sesuatu kepada diriku sendiri.
Apakah ini dialogku kepada diriku sendiri?
Apakah hati atau otak yang sedang berlomba mengeluarkan apa-apa yang ingin disampaikan?
Ataukah, ini adalah suara ruhku? Yang memang ia hanya menumpang pada tubuh yang sementara ini?
Pikiranku berkelana, jauh…jauh sekali tak terbatas negara maupun benua. Dalam sedetik, pikiranku melayang menuju Nenekku di sana. Apakah beliau sudah makan malam? Apakah hatinya sedang bahagia? Karena dua hari ini aku tak berhasil menghubungi beliau. Mungkin pulsa beliau habis atau batereinya yang waktunya diisi ulang. Pikiranku lalu melompat ke Ayah Mama ku, apa yang sedang beliau pikirkan saat ini? Apakah beliau menikmati hari-harinya seperti biasa? Apakah keluhan sakit beliau sudah mereda bahkan hilang? Apa yang ada dipikiran beliau tentang kami di sini? Berbagai tanya sperti menghinggapi ruangan-ruangan kosong diri ini.
Belum sampai otakku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, tiba-tiba ia dengan lancang melemparku jauuuuh… terlalu jauuuh… ke arah saudara-saudara di Bumi Syam.
Air mataku menetes. Kita bagaikan tinggal di planet berbeda yang amat jauh. Di bagian bumi sini, semua bisa tertawa haha hihi, bercanda, menikmati kemakmuran dunia yang diusahakan begitu rupa. Mengejar-ngejar dunia walaupun tahu ia hanyalah fana. Semakin kau kejar dunia, semakin merasa kurang.
Sementara di sana, betapa nyawa manusia…aku kehabisan kata-kata, tak tahu harus melanjutkan seperti apa. Anak-anak yang kedinginan tanpa pelukan Ayah Ibu. Keluarga bahkan badan yang tercerai berai. Astaghfirullah, maafkan aku harus menulis ini. Aku perlu seseorang untuk bercerita tentang ini, yang lebih berilmu dan lebih dapat dipercaya. Jujur, aku jadi rindu murabbi SMA ku. Aku rindu bercerita panjang lebar dengan beliau.
Apa yang mereka alami dan rasakan di sana, rasanya lebih berat timbangan pahalanya dibandingkan diri ini. Maka tak apalah jika memang saat ini sedang tak bisa memiliki hal-hal yang sederhana apalagi sifatnya hanya dunia, tak apalah jika harus menurunkan ego dan mengalah, tak apa sakit hati apabila pendapat dan selera kita tak sama dengan yang lain, tak apa… ini hanyalah urusan dunia.
Ketika hamil dulu, yang menandai tahun-tahun awal aku di kota ini, aku selalu bercerita apapun pada jabang bayiku. Apapun, entah tentang jualan jastip, tentang suami, tentang makanan, tentang mual, apapun. Karena ketika itu hanya berdua saja dengan jabang bayi di rumah, ketika suami kerja, smentara bahasa Jepang belum tahu apa-apa. Mungkin itu salah satu sebabnya, ketika sekarang jabang bayi sudah lahir dan tumbuh Alhamdulillah sehat, dia selalu bisa merasakan ketika aku sedang berdialog sedih dengan pikiranku sendiri. Meskipun dia sedang bermain atau beraktivitas agak jauh dariku, tiba-tiba saja ia akan datang sambil memelukku erat. Tidak menanyaiku apa-apa, hanya memeluk, dan pelukan itu lepas hanya ketika aku yang melepaskannya dan berkata “Ibu gak papa”. Masya Allah, makasih banyak ya Nak. Kadang aku berpikir, Allah menciptakan perasaannya jauh lebih mengerti diriku bahkan dari siapapun. Alhamdulillah, terima kasih ya Nak, sejak ada kamu rasanya tidak ada yang namanya sepi dalam hidup Ibu. Semoga kita selalu mencintai karena Allah, di dunia hingga akhirat. Aamiin
Alhamdulillah, perasaanku terasa lebih lapang, aku siap lagi menyambut tugas-tugas rumah yang berputar menghiasi duniaku saat ini. Terima kasih Ya Allah.
Maka, menulislah jika sedang kalut dan belum ada yang siap menjadi pendengar. Menulislah sebebasnya seperti jika kamu belum tahu apa itu kaidah kepenulisan. Menulislah tanpa peduli ada atau tidak yang membaca tulisanmu. Tulislah untuk kepuasan dirimu sendiri. Kamu adalah kunci dari tulisanmu, bukan yang lain. Tentunya setelah sujud sejenak bercerita kepada Sang Pemilik kita ya ^^
Terima kasih
Jepang, 25 Oktober 2024