Mendewasakan Syukur
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih ketika Sensei di mejaku menunjukkan ponsel beliau yang menampilkan video yang ada pada Channel Youtube ku, Vidya gatari. Kami mulai membuka pembicaraan hari itu tentang apa alasanku mulai menulis blog dan mengunggah video di channel youtube pribadi. Aku menjawab dengan mantap, alasannya adalah rasa senang dan KELUARGA.
Selama keluarga kecil kami tinggal di sini, belum ada satu pun keluarga di Indonesia berkesempatan mengunjungi kami. Obrolan rindu pelepas kangen hanya terjadi di telpon dan video call. Pasti Orang Tua kami hanya dapat membayangkan semampunya tentang kehidupan yang kami jalani di negeri rantau ini. Tentang suasana malam siangnya, masyarakatnya, fasilitas umumnya, bahkan hiburan dan kulinernya. Lalu, terbesit ideku untuk menulis, awalnya hanya menulis di sosial media facebook dan Instagram pribadi yang terkunci. Namun adanya batasan-batasan menulis di kedua platform tersebut tak membuatku puas.
Aku ingin sesuatu yang lebih dari itu, aku ingin tulisanku tertata runut, bisa dibuka dibaca dan ditemukan setiap saat oleh siapa saja. Akhirnya, aku belajar menulis blog dan bergabung dengan komunitas. Tak lama, suami pun mengizinkanku membeli domain blog sehingga lebih mudah diingat dan lahirlah blog ini, vidyagatari.com.
Selama ini blogku murni berisikan informasi apa saja yang memang ingin aku bagikan, tidak ada muatan iklan atau advertisement apapun di sini. Kata orang, blog organik!
Aku bersyukur suami dan anakku mengizinkan ku melakukan banyak hal yang aku senangi. Alhamdulillah, sangat sangat bersyukur.
Setelah beberapa saat menikmati blog, akupun mulai mencoba merekam video dan mengunggahnya ke saluran Youtube pribadi. Harapannya, selain sebagai kenangan kami sekeluarga ketika merasakan nikmat-Nya berjuang di perantauan ini, merekam tahapan kami bertumbuh menjadi dewasa, aku juga ingin agar keluarga dan teman terdekat dapat merasakan sensasi seperti sedang jalan-jalan virtual ketika mereka melihat video yang aku buat.
Pembicaraan dengan Sensei ku pun berlanjut, aku bercerita bahwa aku lahir dari keluarga pengajar. Ayah Ibu, serta adikku adalah seorang Guru. Dulu, aku pun pernah menjadi seorang Guru. Memoriku melayang pada kenangan ketika masih muda. Sungguh Allah telah mengizinkanku melakukan banyak hal, dengan porsi terbaik menurut-Nya dan dalam tempo yang cukup singkat. Banyak peran kehidupan yang sudah kurasakan, hingga aku menjadi aku yang seperti hari ini.
Aku sangat bangga lahir di keluarga pengajar. Orang Tuaku mengajarkan tentang indahnya belajar dan mencari pengalaman/ilmu sebanyak-banyaknya di luar sana. Kata Orang Tuaku, Vidya berarti Ilmu. Beliau berdua memberikan nama itu padaku, dengan harapan aku dapat menjadi orang yang mau terus mencari ilmu Allah di bumi ini.
Tentang pengalamanku menjadi Guru, adalah pengalaman yang cukup membekas untukku, karena mungkin rentang waktunya cukup lama terjadi pada diary kehidupanku. Akupun berkata pada Senseiku siang ini,
“Sensei, saya dulu juga seorang pengajar, tapi sekarang saya hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga”
Tanpa kusangka, Senseiku langsung menyela dengan nada yang tinggi.
“Vidya chan, jadi Ibu Rumah Tangga itu bukan “hanya”, loh! Ibu Rumah Tangga itu pekerjaan yang paling berat di dunia. Ibu Rumah Tangga harus bekerja 24 jam sehari selama tujuh hari berturut-turut tanpa ada libur. Selesai memasak, harus menyiapkan makan sekeluarga, setelah itu harus mencuci piring kotor, setelah itu harus membersihkan dan menyapu rumah, belum lagi mencuci dan sebagainya. Kalau pekerja, ada libur di hari Sabtu dan Minggu, kan? Bekerja juga dari jam 8 pagi hingga jam 7 malam, tapi kalau Ibu Rumah Tangga, tidak ada selesai bekerja, tidak ada libur!”
Aku kaget.
Aku mengenal guruku ini bertahun-tahun selalu tenang dan lembut. Tapi hari ini aku menyaksikannya berapi-api sekali ketika menjelaskan bagaimana beratnya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga.
Aku menahan embun mata yang mulai mendesak ujung mata. Beruntung aku mengenakan masker, sehingga adapun air mata yang jatuh, muka sembab ini tak terlalu terlihat.
Aku sangat terharu beliau mengatakan hal itu untukku.
Sungguh, Aku tak pernah membayangkan ada di posisi sekarang. Menyertai keluarga di perantauan yang jauh tak ada sanak saudara, meninggalkan semua mimpi dan cita-cita yang dulu sempat kurancang dengan sepenuh hati.
Aku tidak menyesal, namun tak dipungkiri ada masa-masa aku merasa sedih. Namun setiap tahap hidup ini sangat memberikan pelajaran yang berarti, bahwa jalan hidup menjadi dewasa itu melewati banyak sekali tangga kehidupan, mencoba ini dan itu, menjalani ini itu, bertemu orang ini dan itu, berpapasan hal baik dan buruk, banyak hal!
Gagal? Tak apa!
Salah jalan? Tak perlu khawatir.
It’s okay untuk mencoba jalan lain dan membuka pintu yang baru. Merancang kembali mimpi dan tetap sepenuh hati.
Semua mendewasakan kita, hati kita, cara berpikir kita, sikap kita dan menambah rasa syukur kita.
Aku jadi teringat salah satu lirik dari lagu yang dulu pernah menyemangatiku berjuang mendapatkan mimpiku. Tentang bagaimana hidup tetap harus maju dan berlanjut, apapun yang terjadi tetap milikilah mimpi dan tujuan yang pasti, sebagai penguat diri untuk tetap berlari hingga di garis finish!
Aku tidak takut pada luka dan sakit
First Rabbit-JKT48
Apa yang terjadi, ku takkan gentar
Pergi untuk mencari impian milikku
Meskipun ada yang menghalangi
Untuk sampai ke tujuan
Setiap terluka jadi makin dewasa
Air mata mengalir, dada terasa sakit
Meski begitu ku tetap takkan menyerah
Ayo jadi kelinci yang pertama
Terima kasih sudah membaca tulisan ini hingga akhir. Semoga ada hikmah kebaikan yang dapat diambil, ya! Saran kritik boleh langsung ke instagram @vidyagatari atau surel vidyayupi@gmail.com, ya!
Jadi, bagaimana proses pendewasaan syukurmu hari ini? ^^